Rabu, 02 Oktober 2013

indonesia singa dunia

Indonesia sdh sjak lma mnjdi babu atau budak dri negara lain, indonesia sdh lma haus akn makna demokrasi yg sesungguhx, sudah cukup mereka menginjak pundak kita sbgai warga negara indonesia, dan skrg sdh bkan saatx indonesia patah akn tulang telunjukx untuk mnjdi pemnpin dunia, mari kita semua bangkit dri kuburan tnpa tanah ini, mari kita mnjdi pemegang rantai alam yg akn mencekek n meringkus mereka yg ingin menjajah arti demokrasi yg harum n bersayap ini. Mulailah brkreasi unt mnjdi gembok dunia yg bebas akn volusi keterbelakangan yg sdh mulai hanyut dijerat tali zaman, otak n otot yg lama fakum krn sdh lma djerat oleh ketertindasan mereka yg tdk bertanggung jwb, skrg saatx kencangkan otot yg sdh mulai kendor n asah kembli otak yg sdh lama kusut krna tdk mau brfikir. Masa jajahan sdh mnjadi sjarah n ujung tombak sdh lma trbungkus kain kafan skrg adl masa kita unt brkreasi mnjdi pahlawan dri mereka yg termaktup dlm bhasa the greet gloos. Brsihkan volusi2 demokrasi yg slalu menghantui mereka n mnjadi takut krn aungan singa barat yg skrg tak bertaring lagi, kita buktikan pda mereka bhwa kita adl kucing hitam dunia yg tdk takut sama predator2 yg mempunyai belalai, taring, n bisa sekalipun...!!

Kamis, 17 Januari 2013

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

makalah hukum perlindungan anak jannuari 18 2013 MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh : herpanto FAK. HUKUM universitas muhammadiyah jember BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan, serta perlindungan hak asasi manusia (HAM) adalah hal amat penting yang tidak mengenal ruang dan waktu. Sejak tonggak awal HAM melalui Magna Charta tahun 1215, yang merupakan reaksi atas kesewenang-wenangan Raja John dari Kerajaan Inggris, hingga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Indonesia. Berbagai bentuk peraturan yang bersifat universal telah dikeluarkan dalam rangka mendukung upaya perlindungan HAM di dunia. Sebagian besar negara pun mencantumkan permasalahan mengenai hak-hak dasar ke dalam konstitusinya masing-masing, termasuk Indonesia dengan undang-undang dasarnya. Membicarakan masalah perlindungan akan selalu terkait dengan penegakan hukum karena perlindungan merupakan salah satu bagian dari tujuan penegakan hukum. Negara ini adalah negara yang berdasar atas hukum, maka perlindungan HAM sudah barang tentu juga merupakan tujuan penegakan hukum secara konsisten. Salah satu bidang HAM yang menjadi perhatian bersama baik di dunia internasional maupun di Indonesia adalah hak anak. Masalah seputar kehidupan anak sudah selayaknya menjadi perhatian utama bagi masyarakat dan pemerintah. Saat ini, sangat banyak kondisi ideal yang diperlukan untuk melindungi hak-hak anak Indonesia namun tidak mampu diwujudkan oleh negara, dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia. Kegagalan berbagai pranata sosial dalam menjalankan fungsinya ikut menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. Berbagai usaha dilakukan oleh berbagai pihak demi melindungi anak, dan salah satu bentuk perlindungan itu adalah pengangkatan anak, yang di satu sisi terus dicegah pelaksanaannya, namun di sisi lain diharapkan dapat menjadi salah satu wujud dari usaha perlindungan anak. 1.2 Perumusan Masalah Dalam penulisan makalah ini, permasalahan-permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut. a. Instrumen hukum apa sajakah yang berkaitan dengan hak anak dan perlindungan anak? b. Bagaimanakah pengaturan secara hukum mengenai pengangkatan anak di Indonesia? c. Bagaimanakah pelaksanaan pengangkatan anak di Indonesia dan sejauh apa kaitannya dengan usaha perlindungan anak? BAB II PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN ANAK 2.1 Instrumen Hukum mengenai Perlindungan Anak 2.1.1 Lahirnya Konvensi Hak Anak Gagasan mengenai hak anak pertama kali muncul pasca berakhirnya Perang Dunia I. Sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul akibat bencana peperangan terutama yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak, para aktivis perempuan melakukan protes dengan menggelar pawai. Dalam pawai tersebut, mereka membawa poster-poster yang meminta perhatian publik atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang. Salah seorang di antara aktivis tersebut, Eglantyne Jebb, kemudian mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang hak anak yang pada tahun 1923 diadopsi oleh Save the Children Fund International Union. Untuk pertama kalinya, pada tahun 1924, Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa. Selanjutnya, deklarasi ini juga dikenal dengan sebutan Deklarasi Jenewa. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya pada 10 Desember 1948, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal mengenai HAM (DUHAM). Peristiwa yang diperingati setiap tahun sebagai Hari HAM Sedunia tersebut menandaiperkembangan penting dalam sejarah HAM. Beberapa hal yang menyangkut hak khusus bagi anak-anak tercakup pula dalam deklarasi ini. Pada 1959, Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan Pernyataan mengenai Hak Anak sekaligus merupakan deklarasi internasional kedua di bidang hak khusus bagi anak-anak. Selanjutnya, perhatian dunia terhadap eksistensi bidang hak ini semakin berkembang. Tahun 1979, bertepatan dengan saat dicanangkannya Tahun Anak Internasional, pemerintah Rolandia mengajukan usul disusunnya perumusan suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan bersifat mengikat secara yuridis. Inilah awal mula dibentuknya Konvensi Hak Anak. Tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan dan pada tahun itu juga, tanggal 20 November, naskah akhir tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB. Rancangan inilah yang hingga saat ini dikenal sebagai Konvensi Hak Anak (KHA). Pada 2 September 1990, KHA mulai diberlakukan sebagai hukum internasional. Indonesia meratifikasi KHA pada 25 September 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 dan diberlakukan mulai 5 Oktober 1990. 2.1.2 Hukum Nasional mengenai Hak Anak dan Pengangkatan Anak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 2 ayat (3) dan (4) menyatakan bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Selanjutnya, berkaitan dengan pengangkatan anak, Pasal 12 ayat (1) dan (3) undang-undang yang sama menuliskan bahwa pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kedua pasal tersebut menunjukkan bahwa undang-undang tersebut merupakan suatu ketentuan hukum yang menciptakan perlindungan anak karena kebutuhan anak menjadi pokok perhatian dalam aturan tersebut. Selama ini memang belum ada peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur mengenai pengangkatan anak, kecuali bagi Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Cina, yaitu dengan Staatsblad 1917 Nomor 129. Di samping Undang-Undang Kesejahteraan Anak, peraturan lain yang mencantumkan ketentuan berkaitan dengan pengangkatan anak di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Pasal 5 (2) undang-undang tersebut menyebutkan bahwa anak WNI yang belum berusia lima tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai WNI. Mengingat belum terbentuknya peraturan mengenai pengangkatan anak, maka sebagai pedoman digunakan antara lain Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 yang kemudian disempurnakan oleh SEMA Nomor 6 Tahun 1983. Salah satu isi dari SEMA Nomor 6 Tahun 1983 menentukan bahwa warga negara asing (WNA) yang akan mengadopsi anak WNI harus sudah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia selama minimal tiga tahun. Selain itu, calon orang tua angkat harus mendapat izin tertulis dari Menteri Sosial. Pengangkatan anak harus dilakukan melalui yayasan social yang memiliki izin dari Departemen Sosial untuk bergerak di bidang pengangkatan anak. Pengangkatan anak WNI yang langsung dilakukan orang tua kandung WNI dengan calon orang tua WNA tidak diperbolehkan. Seorang WNA yang belum atau tidak menikah tidak boleh mengangkat anak WNI dan calon anak angkat WNI harus berusia di bawah lima tahun.Bagi Indonesia, pengangkatan anak atau adopsi sebagai suatu lembaga hukum belum berada dalam keadaan yang seragam, baik motivasi maupun caranya. Karena itu, masalah pengangkatan anak atau adopsi ini masih menimbulkan masalah bagi masyarakat dan pemerintah. Terutama dalam rangka usaha perlindungan anak sebagaimana tercantum dalam Undang-UndangKesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 2.2 Pengangkatan Anak di Indonesia dan Kaitannya dengan Usaha Perlindungan Anak Arif Gosita mendefinisikan pengangkatan anak sebagai suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak, motivasi pengangkatan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan, dan harus dipastikan dilakukan demi kepentingan anak. Arif Gosita menyebutkan bahwa pengangkatan anak akan mempunya dampak perlindungan anak apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. a. Diutamakan pengangkatan anak yatim piatu. b. Anak yang cacat mental, fisik, sosial. c. Orang tua anak tersebut memang sudah benar-benar tidak mampu mengelola keluarganya. d. Bersedia memupuk dan memelihara ikatan keluarga antara anak dan orang tua kandung sepanjang hayat. e. Hal-hal lain yang tetap mengembangkan manusia seutuhnya. Berikutnya, Arif mengemukakan faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian dalam pengangkatan anak sebagai berikut.9 a. Subyek yang terlibat dalam perbuatan mengangkat anak. b. Alasan atau latar belakang dilakukannya perbuatan tersebut, baik dari pihak adoptan (yang mengadopsi) maupun dari pihak orang tua anak. c. Ketentuan hukum yang mengatur pengangkatan anak. d. Para pihak yang mendapat keuntungan dan kerugian dalam pengangkatan anak. Dalam pelaksanaan pengangkatan anak, pelayanan bagi pihak yang mengangkat anak adalah hal paling utama. Selanjutnya, harus diperhatikan pula kepentingan pemilik anak agar menyetujui anaknya diambil oleh orang lain. Pelayanan berikutnya diberikan bagi pihak-pihak lain yang berjasa dalam terlaksana proses pengangkatan anak. Dan yang paling akhir mendapatkan pelayanan adalah anak yang diangkat. Sepanjang proses tersebut, anak benar-benar dijadikan obyek perjanjian dan persetujuan antara orang-orang dewasa. Berkaitan dengan kenyataan ini, proses pengangkatan anak yang menuju ke arah suatu bisnis jasa komersial merupakan hal yang amat penting untuk dicegah karena hal ini bertentangan dengan asas dan tujuan pengangkatan anak. Pada dasarnya, pengangkatan anak tidak dapat diterima menurut asas-asas perlindungan anak. Pelaksanaan pengangkatan anak dianggap tidak rasional positif, tidak dapat dipertanggungjawabkan, bertentangan dengan asas perlindungan anak, serta kurang bermanfaat bagi anak yang bersangkutan. Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah pelaksanaan pengangkatan anak adalah sebagai berikut. a. Memberikan pembinaan mental bagi para orang tua, khususnya menekankan pada pengertian tentang manusia dan anak dengan tepat. Menegaskan untuk tidak mengutamakan kepentingan diri sendiri yang dilandaskan pada nilai-nilai sosial yang menyesatkan tentang kehidupan keluarga. b. Memberikan bantuan untuk meningkatkan kemampuan dalam membangun keluarga sejahtera dengan berbagai cara yang rasional, bertanggung jawab, dan bermanfaat. c. Menciptakan iklim yang dapat mencegah atau mengurangi pelaksanaan pengangkatan anak. d. Meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap sesama manusia melalui pendidikan formal dan nonformal secara merata untuk semua golongan masyarat. BAB III KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab terdahulu, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1. Instrumen hukum yang mengatur mengenai hak-hak anak dan perlindungan anak di antaranya adalah: a. Konvensi Hak Anak; b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; dan e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 12 ayat (1) dan (3) menuliskan bahwa pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangundangan. 3. Pada dasarnya, pengangkatan anak tidak dapat diterima menurut asas-asas perlindungan anak. Pelaksanaan pengangkatan anak dianggap tidak rasional positif, tidak dapat dipertanggungjawabkan, bertentangan dengan asas perlindungan anak, serta kurang bermanfaat bagi anak yang bersangkutan. Namun demikian, dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak, proses tersebut dapat dilakukan. Motivasi pengangkatan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan, dan harus dipastikan bahwa perbuatan tersebut dilakukan demi kepentingan anak. DAFTAR PUSTAKA Buku Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo CV, 1984. Herlina, Apong, dkk. Perlindungan Anak: Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: UNICEF, 2005. Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara, 1990. Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005. Zen, A. Patra M. Tak Ada Hak Asasi yang Diberi. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), 2005. Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. _______. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. _______. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. _______. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. _______. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. _______. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Kamis, 03 Januari 2013

Setelah tadi kita selalu berbicara yang romantis, sekarang kita akan ke sesuatu yang berbau islami. Semua kata-kata mutiara dibawah ini diambil dari para pujangga-pujangga islam yang sangat terkenal dengan ilmunya. Tidak hanya bercerita tetang hubugan kekasih, namun hubungan suami istri dalam kehidupan sehari-hari yang dihubungkan dengan agama. Pernikahan bukan sekadar penyaluran kecenderungan badani, tetapi menampilkan kebersamaan dalam materi, tata krama, dan sosial yang menuntut berbagai keahlian. (Muhammad Al-Ghazali) Yakin dan cinta adalah dua rukun keimanan. Di atasnya iman dibina dan ditegakan. Keduanya mengembangkan seluruh amalan hati dan jasad, dan dari keduanya semua amalan itu timbul. Jika keduanya melemah, lemah pulalah amal-amal itu. Namun, jika keduanya kuat, amal-amal itu pun akan kuat. (Yusuf Al-Qaradhawi) Suara merdu “persaudaraan” sepatutnya didominasi oleh nuansa kebeningan. Serendah-rendahnya bermuatan “kelapangan hati” dan setinggi-tingginya “itsar”, yaitu memprioritaskan saudara melebihi diri sendiri. (Rahmat Abdullah) Tidaklah seorang hamba menghadap kepada Allah dengan hatinya melainkan Allah menghadap kepadanya dengan hati hamba-hamba-Nya, menjadikan hati mereka menghampirinya dengan membawa kasih sayang, dan Allah akan memberi segala kebaikan kepadanya lebih cepat lagi. (HR Ahmad) Ya Allah, aku memohon cinta-Mu, cinta orang yang mencintai-Mu, dan cinta akan perbuatan yang dapat mendekatkan diriku kepada cinta-Mu. (HR At-Tirmidzi) Siapa mencintai pertemuan dengan Allah, niscaya Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan, barang siapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, niscaya Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya. (HR Bukhari) Cinta antara dua orang tidak sempurna sebelum salah seorang di antara keduanya memanggil sahabatnya, “Oh … diriku!” (Khalid Muhammad Khalid) Cinta tidak mengajari kita lemah, tetapi membangkitkankekuatan. Cinta tidak mengajari kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta tidak melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat. (HAMKA) Dalam memilih calon pendamping, jangan terlalu mengandalkan akal. Jika terlalu mengandalkan akal, semuanya akan dipertimbangkan nalar. Maka tanyalah perasaanmu, tanyalah hatimu. Kalau hati sudah cocok, carilah pembenarannya lewat akal. (M. Quraish Shihab) Cinta dan benci mengisi suatu suatu waktu, sedangkan waktu itu terus berlalu. Karenanya, cinta dan benci pun dapat berlalu. (M. Quraish Shihab) Tidak ada nikmat kebaikan yang Allah berikan setelah Islam, selain saudara yang saleh. Jika kalian merasakan kecintaan dari saudaranya, maka peganglah kuat-kuat persaudaraan dengannya. (Umar bin Khathab) Kebaikan itu menyinari wajah, menyalakan cahaya jiwa, membuka pintu rezeki, menguatkan tubuh, dan menambah cinta dalam hati. (Abdullah bin Abbas) Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai perjumpaan dengan-Mu, maka cintailah perjumpaan denganku. (Abu Hurairah) Cinta awalnya permainan dan akhirnya kesungguhan. Ia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya dan syariat pun tidak melarangnya, karena hati ada di tangan Tuhan, Dia yang membolak-baliknya. (Muhammad Ibnu Hazm) Logika cinta yang luhur memberikan kepada kesetiaan dan loyalitas apa yang tidak dikenal dalam hukum dagang yang berorientasi keuntungan. (Muhammad Al-Ghazali)

Sabtu, 15 Desember 2012

KUMPULAN MP3 MALAYSIAKU: Rhiena - Terbuai Mimpi @2006

KUMPULAN MP3 MALAYSIAKU: Rhiena - Terbuai Mimpi @2006: Track List : Download   01. Rhiena - Karam Dilaut Tenang  Download  02. Rhiena - Kenangan Yang Lalu Download  03. Rhiena - Terbuai Mimpi...

Sabtu, 10 November 2012

DEMOKRATISASI INSTITUSI DAN INSTITUTIONALISASI DEMOKRASI

(TOTALITERISME/OTORITERISME/SISTIM DEMOKRATIS)
Saat ini banyak orang bicara mengenai masalah demokrasi. Tapi sedikit yang mempraktekkannya. Banyak orang yang menganjurkan perubahan. Tapi kurang jelas, perubahan apa yang dimaksudkan. Perubahan yang sifatnya personal? Atau perubahan institutional? Yang jelas kebanyakan orang menginginkan perubahan institusional. Dengan kata lain, terbentuknya institusi atau lembaga-lembaga demokratis. Barangkali teori dibawah ini dapat sedikit membantu Anda, untuk menjawab pertanyaan lembaga mana sebenarnya yang kita maksud.Teori yang baik adalah teori yang dapat dibuktikan kebenarannya. Teori yang kurang akurat sering dilupakan orang. (Bahan diskusi intern API-Berlin)
(Definisi) Teori demokrasi yang diilhami Rousseau mengarah ke pembentukan aspirasi rakyat homogen. Disamping itu, kemakmuran bersama dimasa depanpun sudah dipastikan sejak awal. Oleh karena itu, teori yang tak kenal konflik interes dimasyarakat ini juga dikenal sebagai teori identitas. Demokrasi dalam pengertian ini dipakai untuk membedakan identitas antara golongan pemerintah dan yang diperintah. Prinsip representasi atau perwakilan ditolak, sebab kehendak rakyat tak mungkin dapat diwakilkan. Demokrasi model ini tidak menolak warga negara aktif dibidang politik. Sehingga bahaya dari dalam mengancam setiap saat. Maka ide untuk membentuk sebuah Staatsvolk (bangsa senegara) dirasa perlu, terutama untuk menindas interes yang beraneka ragam yang ada dimasyarakat. Pola pikir (demokrasi) macam ini akhirnya mengarah kesistim kekuasaan totaliter. Itulah sebabnya kenapa ada istilah demokrasi totaliter . Demokrasi macam ini mendambakan kehadiran seorang Führer atau sebuah partai yang melaksanakan kehendak seluruh rakyat. Perbedaan pendapat ditindas. Kegiatan oposisi dilarang. Aktivitas intelektual dianggap gerakan pengacau stabilitas. Manusia harus dipaksa untuk mencapai kemakmurannya sendiri.
Bertolak belakang dengan teori tersebut diatas, teori demokrasi persaingan, model Anglo-Saxon justru berangkat dari eksistensi perbedaan interes. Pembentukan pendapat politik dalam masyarakat pluralistik hendaknya dilakukan melalui proses yang transparan. Kompetisi antar kelompok dalam masyarakat heterogen, sah sah saja. Keyakinan bersama (Weltanschauung) tak diperlukan. Karena banyaknya perbedaan pendapat yang ada di masyarakat, munculnya konflik sosialpun sulit dihindari. Sehingga tak ada penyelesaian yang sifatnya absolut (yang paling benar). Prinsip mayoritas (memang) menjadi dasar-dasar pengambilan sebuah keputusan. Namun ini tak boleh menyebabkan adanya tirani mayoritas . Karena dapat mengganggu jalannya aturan main serta melanggar HAM. Disamping itu mayoritas juga bukan berarti bahwa orang boleh berbuat apa saja. Jadi harus ada perlindungan terhadap minoritas, yang tertera dalam undang undang dasar. Wakil wakil yang terpilih (di parlemen) tidak tergantung dari intsruksi. Begitu pula setelah periode legislatur berakhir, mereka dapat dipilih kembali. Oleh sebab itu demokrasi dalam pengertian ini, tidak berarti >>kekuasaan rakyat<<, melainkan kekuasaan atas persetujuan rakyat. Teori ini mengarah kepada sistim perwakilan. (Lihat tabel dihalaman paling belakang)
Dari sudut pandang marxis-leninis, demokrasi terbagi menjadi dua tipologi: demokrasi sosialistik dan demokrasi borjuis . Karena dalam demokrasi sosialistik alat-alat produksi merupakan milik bersama, maka interes pribadi kemudian sama dengan interes negara. Dalam rangka memperkuat dukungan massa untuk menghancurkan kelas penghisap lama, maka pimpinan partai marxis-leninis yang sadar kelas membentuk diktator proletariat . Demokrasi sosialistik adalah demokrasi untuk mencapai tingkatan yang tertinggi. Dan ini dibentuk berdasarkan undang-undang, yang mengawali tercapainya masyarakat tanpa kelas . Seluruh kegiatan sosial dan keharmonisan masyarakat merupakan realitas sosial. Dengan kata lain dalam demokrasi realis semua rakyat diajak, baik dalam proses perencanaan, pengaturan maupun pelaksanaan; yang bertujuan agar kepribadian rakyat dapat berkembang optimal.
Demokrasi borjuis didasarkan pada kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Yang terkonsentrasi di tangan sedikit orang saja. Sehingga ini mengakibatkan ketimpangan sosial. Demokrasi model ini menyelubungi karakter kelas masyarakat kapitalis. Artinya dimana secara formal semua orang diakui mempunyai hak yang sama, sedangkan rakyat secara real tidak memiliki. Krisis sosialpun makin tajam. Demokrasi borjuis dikecam. Kekuasaan kapitalmonopol sangat kuat dan selalu tegar mengahadapi tuntutan kelas buruh. Bahkan hak-hak yang telah diperjuangkan dengan susah payah (kenaikan upah minimum misalnya) malah diinjak injak lagi. Dari situasi seperti ini dapat melahirkan sistim kediktatoran (fasis). Namun ini tidak terjadi (di negara negara penganut demokrasi bourjuis ) karena kelas pekerja dapat mengorganisir serta mewakili interes mereka sendiri. Satu kemajuan.

Parlamentarisme, sepintas memang mengandung banyak arti. Mencakup semua sistim, yang memiliki parlemen - terlepas dari posisi dan fungsi parlemen bersangkutan. Jerman dibawah Hitler misalnya, Sovyet dibawah Stalin, Spanyol dibawah Franco atau Rumania di bawah Ceausescu. Negara-negara (demokrasi) barat dan rezim-rezim otoriter negara ketiga juga termasuk katagori yang sama. Akan tetapi, berbicara mengenai parlamentarisme hendaknya kita membatasi diri hanya pada sistim (negara) yang demokratis saja.
(Sistim demokratis) Sistim yang demokratis pertama tama ditandai dengan adanya persaingan politik terbuka. Pemilu yang bebas, umum, rahasia. Partai-partai yang meligitimasi kekuasaan memiliki tujuan (program) yang berbeda beda. Sistim juga memberi kemungkinan bahwa partai berkuasa dapat diganti oleh partai lain. (Kendati partai liberal di Jepang berkuasa sejak 1946 misalnya).
Dengan adanya jaminan atas HAM, hak warga negara dll. sistim dapat memperkecil kekuasaan negara. Sehingga memungkinkan terbentuknya struktur yang pluralistik yang merupakan satu keharusan. Dengan kata lain agar aspirasi rakyat serta perbedaan interes yang ada di masyarakat tertampung kedalam sistim kekuasaan (pemerintahan).
Demokrasi bukan saja berarti keputusan (mayoritas) berada ditangan rakyat. Namun disini juga sudah termasuk konsepsi Rechtsstaat, distribusi kekuasaan, perlindungan minoritas serta usaha untuk mengatasi kesewenang wenangan negara. Artinya secara cukup dini membatasi tingkah laku politik penyelenggara kekuasaan negara.
Keunggulan sistim demokratis yaitu selain mengakui adanya perbedaan pendapat, ia juga menerima nilai-nilai kebersamaan. Sebagai contoh nyata misalnya bahwa sebagian besar kelompok masyarakat tidak pernah mempermasalahkan keberadaan pemerintahan demokratis.
(Sistim totaliter) Totaliterisme dalam hal ini merupakan kebalikan dari sistim demokratis. Sistim totaliter klasik (Nazi-Hitler dan Sovyet-Stalin) terutama ditandai, yakni, oleh satu kenyataan bahwa hanya ada satu partai saja, yang, legitimasinya tidak melalui pemilu. Aspirasi rakyat tidak diterima sebagai kontrol kekuasaan. Sebaliknya. Partai (lewat ideologi) yang justru menganggap sebagai tugas utama untuk membentuk atau memperngaruhi keyakinan rakyat. Weltanschauung partai (mirip agama) mengklaim bahwa hanya ada satu kebenaran didunia. Disamping itu, selalu dikumandangkan lewat propaganda bahwa masyarakat ideal sebagai end-station akan segera tercapai. Ideologi macam ini sebenarnya ingin menguasai dunia. Nazi lewat ideolgi ras Aria, komunisme melaui pembentukan masyarakat tanpa kelas. Rakyat diwajibkan untuk menerima Weltanschauung penguasa. Rakyat tidak boleh mengelak. Tidak ada batas antara kehidupan bermasyarakat dan pribadi. Semua diatur negara. Rakyat dipaksa mendukung Weltanschauung penguasa. Kalau dukungan kendor, penguasa tak segan segan menggunakan kekerasan dengan mesin penindasan; polisi rahasia atau intel, yang sering dibantu para intel tak resmi (pegawai sipil, kolega, tetangga atau bahkan saudara atau partner sendiri). Karena seluruh alat komunikasi massa berada dibawah kontrol elit penguasa (baik zaman Hitler maupun Stalin) maka batas antara pemerintah dan yang diperintah menjadi semakin kabur. Sehingga dirasakan perlu adanya musuh nyata yang dapat dijangkau. Teror lewat aparat kekuasaan pun tak terhindarkan lagi. Maka banyak korban berjatuhan. Tak kurang dari enam juta orang Yahudi mati tersiksa di kamp-kamp konsentrasi NAZI. Begitu pula jutaan manusia diperkirakan yang menjadi korban aksi pembersihan Stalin.
(Sistim otoriter). Satu kemiripan otoriterisme dengan totaliterisme; tidak mengenal sistim pemerintahan yang demokratis. Istilah sistim otoriter sebenarnya juga kurang jelas. Mencakup begitu banyak rezim politik yang berbeda. Yang termasuk sistim otoriter adalah baik diktator militer negara ketiga yang kiri maupun yang kanan, (Pinochet). Tapi Franco juga masuk katagori ini. Pemilu dalam sistim otoriter, dimanipulasi secara terang terangan atau tersembunyi. Namun berbeda dengan sistim totaliter, sistim otoriter tidak memerlukan Weltanschauung tertentu. Kendatipun demikian, mempertahankan serta memantapkan kekuasaan merupakan tema sentral. Pluralitas (baca kebebasan) yang amat terbatas masih ditolerir - selama tidak membahayakan sistim. Mobilisasi massa - sebagai pendukung Weltanschauung penguasa dalam sistim otoriter - kelihatan kurang populer. Bahkan elit penguasa tak segan segan mengakui adanya kebebasan individu, serta pandangan politik yang nyeleneh (keluar jalur), selama ini, tidak mengkritik rezim secara terbuka. Oleh karena Weltanschauung atau ideologi tak jelas, maka peranan partai-pemerintah pun menjadi berkurang. Akan tetapi peranan partai, diambil alih oleh klik-penguasa. Klik oligarkhi berperan sangat dominan dalam suksesi atau waktu pergantian kekuasaan, misalnya. Suksesi tidak dilakukan secara terbuka. Melainkan melalui hubungan-hubungan pribadi, antara sang penguasa, dengan kerabat dekat atau orang kepercayaannya. Dibawah rezim ototriter rakyat - selama dia bukan aktivis anti rezim - tidak merasakan adanya tekanan-tekanan atau teror - kalau dibanding kondisi dibawah rezim-rezim totaliter. Karena, - dalam sistim otoriter - rakyat sudah cukup kalau hanya menyetujui sang penguasa. Akan tetapi, belum tentu berarti bahwa rakyat harus bersungguh sungguh mendukungnya. (Sumber: Informationen zur politischen Bildung, No. 227, 1993; hal. 2-4).
(Demokratisasi institusi dan institutionalisasi demokrasi) Sampai saat ini di Eropa masih banyak orang menggunakan kerangka berpikir lama; fasisme versus komunisme. Anehnya, dari determinan ekonomi, kemudian berubah menjadi determinan kultural. Seperti misalnya muncul masalah perbedaan atara kultur barat (kristen) versus non barat atau islam. Atau kita ambil contoh aktual satu lagi yakni kontradiksi masalah migrasi, yang ada di negara negara Eropa barat; konflik antara penduduk setempat (kulit putih) versus orang asing pendatang baru (migran kulit berwarna). Kalau di negara kita muncul istilah pri atau non-pri misalnya. Berdasarkan Weltbild seperti ini, kayaknya dunia harus selalu nampak antagonistik. Dengan kata lain, harus selalu ada musuh. Kalau tak ada musuh? maka ia harus diciptakan dulu. Dan musuh tak boleh abstrak. Dalam kehidupan sehari hari musuh harus selalu nampak jelas, dapat dilihat, bisa dijangkau, dipegang atau dikemplang. Wah, dalam kamus politik, cara berpikir seperti ini hanya dapat ditemui dalam fasisme. Fasis dalam hal ini, bukan saja berarti, tak demokratis, akantetapi, anti-demokratis. Fasis atau bukan, tak penting. Yang penting adalah bagaimana kita keluar dari kemelut tersebut. Ada problim berarti ada jalan keluarnya.
Dalam negara yang tidak demokratis, cuma ada satu jalan menuju reformasi yakni menggulingkan pemerintahan yang ada, dengan kekerasan. (K.R. Popper). Kemudian menggantikannya, dengan cara, mendirikan tatanan baru, yang demokratis. Para pengkritik demokrasi yakni orang orang yang menggunakan nilai-nilai moral (agama) tertentu, sebenarnya tidak bisa membedakan antara problim personal dan institusional. Adalah tugas kita untuk memperbaiki keadaan. Institusi-institusi demokratis tak bisa memperbaiki diri mereka sendiri. Masalah perubahan, selalu berkaitan dengan masalah person (manusia) dan bukan institusi. Kalau kita memang menghendaki perubahan, maka harus jelas dulu institusi mana sebenarnya yang ingin kita rubah? Dalam masalah politik kita kenal adanya perbedaan yang mirip dengan masalah perbedaan antara person dan intstitusi yakni perbedaan antara problim sehari hari dan problim masa depan. Problim sehari hari sebagian besar merupakan masalah harkat manusia (person). Problim masa depan, sebaliknya, harus diatur secara institusional. Masalah ini dapat kita sederhanakan menjadi sebuah pertanyaan; Siapa sebaiknya yang memerintah?


teori demokrasi identitas teori demokrasi konkuren
landasan: identitas pemerintah dan yang diperintah kekuasaan melalui wakil

plebisit (pemungutan suara) parlamentarisme

mandat imperatif (terikat wakil/utusan) mandat bebas

meniadakan interes sepihak pluralisme legitim

aspirasi rakyat homogen konkurensi bermacam-macam interes

kemakmuran bersama yang obyektif (sama rasa sama rata) kemakmuran bersama sebagai hasil dari keseimbangan interes

tujuan/orientasi (finalis) orientasi pada aturan main (formalis)
Penerapan: ketatanegaran otoriter (ekstrim:diktatur fasis) teori pluralisme, demokrasi liberal

demokrasi radikal (ekstrim: diktatur komunis) sistim parlemen representatif; sosialisme-demokratis

demokrasi "totaliter" status quo
kritik: pengambilalihan kekuasaan melalui oligarkhi partai pluralismus eliter

diktatur pendidikan (pemaksaan nilai-nilai) pragmatisme murni (tak ada nilai-nilai)

orientasi kemakmuran yang dipaksakan dominasi interes pribadi