Sabtu, 10 November 2012

DEMOKRATISASI INSTITUSI DAN INSTITUTIONALISASI DEMOKRASI

(TOTALITERISME/OTORITERISME/SISTIM DEMOKRATIS)
Saat ini banyak orang bicara mengenai masalah demokrasi. Tapi sedikit yang mempraktekkannya. Banyak orang yang menganjurkan perubahan. Tapi kurang jelas, perubahan apa yang dimaksudkan. Perubahan yang sifatnya personal? Atau perubahan institutional? Yang jelas kebanyakan orang menginginkan perubahan institusional. Dengan kata lain, terbentuknya institusi atau lembaga-lembaga demokratis. Barangkali teori dibawah ini dapat sedikit membantu Anda, untuk menjawab pertanyaan lembaga mana sebenarnya yang kita maksud.Teori yang baik adalah teori yang dapat dibuktikan kebenarannya. Teori yang kurang akurat sering dilupakan orang. (Bahan diskusi intern API-Berlin)
(Definisi) Teori demokrasi yang diilhami Rousseau mengarah ke pembentukan aspirasi rakyat homogen. Disamping itu, kemakmuran bersama dimasa depanpun sudah dipastikan sejak awal. Oleh karena itu, teori yang tak kenal konflik interes dimasyarakat ini juga dikenal sebagai teori identitas. Demokrasi dalam pengertian ini dipakai untuk membedakan identitas antara golongan pemerintah dan yang diperintah. Prinsip representasi atau perwakilan ditolak, sebab kehendak rakyat tak mungkin dapat diwakilkan. Demokrasi model ini tidak menolak warga negara aktif dibidang politik. Sehingga bahaya dari dalam mengancam setiap saat. Maka ide untuk membentuk sebuah Staatsvolk (bangsa senegara) dirasa perlu, terutama untuk menindas interes yang beraneka ragam yang ada dimasyarakat. Pola pikir (demokrasi) macam ini akhirnya mengarah kesistim kekuasaan totaliter. Itulah sebabnya kenapa ada istilah demokrasi totaliter . Demokrasi macam ini mendambakan kehadiran seorang Führer atau sebuah partai yang melaksanakan kehendak seluruh rakyat. Perbedaan pendapat ditindas. Kegiatan oposisi dilarang. Aktivitas intelektual dianggap gerakan pengacau stabilitas. Manusia harus dipaksa untuk mencapai kemakmurannya sendiri.
Bertolak belakang dengan teori tersebut diatas, teori demokrasi persaingan, model Anglo-Saxon justru berangkat dari eksistensi perbedaan interes. Pembentukan pendapat politik dalam masyarakat pluralistik hendaknya dilakukan melalui proses yang transparan. Kompetisi antar kelompok dalam masyarakat heterogen, sah sah saja. Keyakinan bersama (Weltanschauung) tak diperlukan. Karena banyaknya perbedaan pendapat yang ada di masyarakat, munculnya konflik sosialpun sulit dihindari. Sehingga tak ada penyelesaian yang sifatnya absolut (yang paling benar). Prinsip mayoritas (memang) menjadi dasar-dasar pengambilan sebuah keputusan. Namun ini tak boleh menyebabkan adanya tirani mayoritas . Karena dapat mengganggu jalannya aturan main serta melanggar HAM. Disamping itu mayoritas juga bukan berarti bahwa orang boleh berbuat apa saja. Jadi harus ada perlindungan terhadap minoritas, yang tertera dalam undang undang dasar. Wakil wakil yang terpilih (di parlemen) tidak tergantung dari intsruksi. Begitu pula setelah periode legislatur berakhir, mereka dapat dipilih kembali. Oleh sebab itu demokrasi dalam pengertian ini, tidak berarti >>kekuasaan rakyat<<, melainkan kekuasaan atas persetujuan rakyat. Teori ini mengarah kepada sistim perwakilan. (Lihat tabel dihalaman paling belakang)
Dari sudut pandang marxis-leninis, demokrasi terbagi menjadi dua tipologi: demokrasi sosialistik dan demokrasi borjuis . Karena dalam demokrasi sosialistik alat-alat produksi merupakan milik bersama, maka interes pribadi kemudian sama dengan interes negara. Dalam rangka memperkuat dukungan massa untuk menghancurkan kelas penghisap lama, maka pimpinan partai marxis-leninis yang sadar kelas membentuk diktator proletariat . Demokrasi sosialistik adalah demokrasi untuk mencapai tingkatan yang tertinggi. Dan ini dibentuk berdasarkan undang-undang, yang mengawali tercapainya masyarakat tanpa kelas . Seluruh kegiatan sosial dan keharmonisan masyarakat merupakan realitas sosial. Dengan kata lain dalam demokrasi realis semua rakyat diajak, baik dalam proses perencanaan, pengaturan maupun pelaksanaan; yang bertujuan agar kepribadian rakyat dapat berkembang optimal.
Demokrasi borjuis didasarkan pada kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Yang terkonsentrasi di tangan sedikit orang saja. Sehingga ini mengakibatkan ketimpangan sosial. Demokrasi model ini menyelubungi karakter kelas masyarakat kapitalis. Artinya dimana secara formal semua orang diakui mempunyai hak yang sama, sedangkan rakyat secara real tidak memiliki. Krisis sosialpun makin tajam. Demokrasi borjuis dikecam. Kekuasaan kapitalmonopol sangat kuat dan selalu tegar mengahadapi tuntutan kelas buruh. Bahkan hak-hak yang telah diperjuangkan dengan susah payah (kenaikan upah minimum misalnya) malah diinjak injak lagi. Dari situasi seperti ini dapat melahirkan sistim kediktatoran (fasis). Namun ini tidak terjadi (di negara negara penganut demokrasi bourjuis ) karena kelas pekerja dapat mengorganisir serta mewakili interes mereka sendiri. Satu kemajuan.

Parlamentarisme, sepintas memang mengandung banyak arti. Mencakup semua sistim, yang memiliki parlemen - terlepas dari posisi dan fungsi parlemen bersangkutan. Jerman dibawah Hitler misalnya, Sovyet dibawah Stalin, Spanyol dibawah Franco atau Rumania di bawah Ceausescu. Negara-negara (demokrasi) barat dan rezim-rezim otoriter negara ketiga juga termasuk katagori yang sama. Akan tetapi, berbicara mengenai parlamentarisme hendaknya kita membatasi diri hanya pada sistim (negara) yang demokratis saja.
(Sistim demokratis) Sistim yang demokratis pertama tama ditandai dengan adanya persaingan politik terbuka. Pemilu yang bebas, umum, rahasia. Partai-partai yang meligitimasi kekuasaan memiliki tujuan (program) yang berbeda beda. Sistim juga memberi kemungkinan bahwa partai berkuasa dapat diganti oleh partai lain. (Kendati partai liberal di Jepang berkuasa sejak 1946 misalnya).
Dengan adanya jaminan atas HAM, hak warga negara dll. sistim dapat memperkecil kekuasaan negara. Sehingga memungkinkan terbentuknya struktur yang pluralistik yang merupakan satu keharusan. Dengan kata lain agar aspirasi rakyat serta perbedaan interes yang ada di masyarakat tertampung kedalam sistim kekuasaan (pemerintahan).
Demokrasi bukan saja berarti keputusan (mayoritas) berada ditangan rakyat. Namun disini juga sudah termasuk konsepsi Rechtsstaat, distribusi kekuasaan, perlindungan minoritas serta usaha untuk mengatasi kesewenang wenangan negara. Artinya secara cukup dini membatasi tingkah laku politik penyelenggara kekuasaan negara.
Keunggulan sistim demokratis yaitu selain mengakui adanya perbedaan pendapat, ia juga menerima nilai-nilai kebersamaan. Sebagai contoh nyata misalnya bahwa sebagian besar kelompok masyarakat tidak pernah mempermasalahkan keberadaan pemerintahan demokratis.
(Sistim totaliter) Totaliterisme dalam hal ini merupakan kebalikan dari sistim demokratis. Sistim totaliter klasik (Nazi-Hitler dan Sovyet-Stalin) terutama ditandai, yakni, oleh satu kenyataan bahwa hanya ada satu partai saja, yang, legitimasinya tidak melalui pemilu. Aspirasi rakyat tidak diterima sebagai kontrol kekuasaan. Sebaliknya. Partai (lewat ideologi) yang justru menganggap sebagai tugas utama untuk membentuk atau memperngaruhi keyakinan rakyat. Weltanschauung partai (mirip agama) mengklaim bahwa hanya ada satu kebenaran didunia. Disamping itu, selalu dikumandangkan lewat propaganda bahwa masyarakat ideal sebagai end-station akan segera tercapai. Ideologi macam ini sebenarnya ingin menguasai dunia. Nazi lewat ideolgi ras Aria, komunisme melaui pembentukan masyarakat tanpa kelas. Rakyat diwajibkan untuk menerima Weltanschauung penguasa. Rakyat tidak boleh mengelak. Tidak ada batas antara kehidupan bermasyarakat dan pribadi. Semua diatur negara. Rakyat dipaksa mendukung Weltanschauung penguasa. Kalau dukungan kendor, penguasa tak segan segan menggunakan kekerasan dengan mesin penindasan; polisi rahasia atau intel, yang sering dibantu para intel tak resmi (pegawai sipil, kolega, tetangga atau bahkan saudara atau partner sendiri). Karena seluruh alat komunikasi massa berada dibawah kontrol elit penguasa (baik zaman Hitler maupun Stalin) maka batas antara pemerintah dan yang diperintah menjadi semakin kabur. Sehingga dirasakan perlu adanya musuh nyata yang dapat dijangkau. Teror lewat aparat kekuasaan pun tak terhindarkan lagi. Maka banyak korban berjatuhan. Tak kurang dari enam juta orang Yahudi mati tersiksa di kamp-kamp konsentrasi NAZI. Begitu pula jutaan manusia diperkirakan yang menjadi korban aksi pembersihan Stalin.
(Sistim otoriter). Satu kemiripan otoriterisme dengan totaliterisme; tidak mengenal sistim pemerintahan yang demokratis. Istilah sistim otoriter sebenarnya juga kurang jelas. Mencakup begitu banyak rezim politik yang berbeda. Yang termasuk sistim otoriter adalah baik diktator militer negara ketiga yang kiri maupun yang kanan, (Pinochet). Tapi Franco juga masuk katagori ini. Pemilu dalam sistim otoriter, dimanipulasi secara terang terangan atau tersembunyi. Namun berbeda dengan sistim totaliter, sistim otoriter tidak memerlukan Weltanschauung tertentu. Kendatipun demikian, mempertahankan serta memantapkan kekuasaan merupakan tema sentral. Pluralitas (baca kebebasan) yang amat terbatas masih ditolerir - selama tidak membahayakan sistim. Mobilisasi massa - sebagai pendukung Weltanschauung penguasa dalam sistim otoriter - kelihatan kurang populer. Bahkan elit penguasa tak segan segan mengakui adanya kebebasan individu, serta pandangan politik yang nyeleneh (keluar jalur), selama ini, tidak mengkritik rezim secara terbuka. Oleh karena Weltanschauung atau ideologi tak jelas, maka peranan partai-pemerintah pun menjadi berkurang. Akan tetapi peranan partai, diambil alih oleh klik-penguasa. Klik oligarkhi berperan sangat dominan dalam suksesi atau waktu pergantian kekuasaan, misalnya. Suksesi tidak dilakukan secara terbuka. Melainkan melalui hubungan-hubungan pribadi, antara sang penguasa, dengan kerabat dekat atau orang kepercayaannya. Dibawah rezim ototriter rakyat - selama dia bukan aktivis anti rezim - tidak merasakan adanya tekanan-tekanan atau teror - kalau dibanding kondisi dibawah rezim-rezim totaliter. Karena, - dalam sistim otoriter - rakyat sudah cukup kalau hanya menyetujui sang penguasa. Akan tetapi, belum tentu berarti bahwa rakyat harus bersungguh sungguh mendukungnya. (Sumber: Informationen zur politischen Bildung, No. 227, 1993; hal. 2-4).
(Demokratisasi institusi dan institutionalisasi demokrasi) Sampai saat ini di Eropa masih banyak orang menggunakan kerangka berpikir lama; fasisme versus komunisme. Anehnya, dari determinan ekonomi, kemudian berubah menjadi determinan kultural. Seperti misalnya muncul masalah perbedaan atara kultur barat (kristen) versus non barat atau islam. Atau kita ambil contoh aktual satu lagi yakni kontradiksi masalah migrasi, yang ada di negara negara Eropa barat; konflik antara penduduk setempat (kulit putih) versus orang asing pendatang baru (migran kulit berwarna). Kalau di negara kita muncul istilah pri atau non-pri misalnya. Berdasarkan Weltbild seperti ini, kayaknya dunia harus selalu nampak antagonistik. Dengan kata lain, harus selalu ada musuh. Kalau tak ada musuh? maka ia harus diciptakan dulu. Dan musuh tak boleh abstrak. Dalam kehidupan sehari hari musuh harus selalu nampak jelas, dapat dilihat, bisa dijangkau, dipegang atau dikemplang. Wah, dalam kamus politik, cara berpikir seperti ini hanya dapat ditemui dalam fasisme. Fasis dalam hal ini, bukan saja berarti, tak demokratis, akantetapi, anti-demokratis. Fasis atau bukan, tak penting. Yang penting adalah bagaimana kita keluar dari kemelut tersebut. Ada problim berarti ada jalan keluarnya.
Dalam negara yang tidak demokratis, cuma ada satu jalan menuju reformasi yakni menggulingkan pemerintahan yang ada, dengan kekerasan. (K.R. Popper). Kemudian menggantikannya, dengan cara, mendirikan tatanan baru, yang demokratis. Para pengkritik demokrasi yakni orang orang yang menggunakan nilai-nilai moral (agama) tertentu, sebenarnya tidak bisa membedakan antara problim personal dan institusional. Adalah tugas kita untuk memperbaiki keadaan. Institusi-institusi demokratis tak bisa memperbaiki diri mereka sendiri. Masalah perubahan, selalu berkaitan dengan masalah person (manusia) dan bukan institusi. Kalau kita memang menghendaki perubahan, maka harus jelas dulu institusi mana sebenarnya yang ingin kita rubah? Dalam masalah politik kita kenal adanya perbedaan yang mirip dengan masalah perbedaan antara person dan intstitusi yakni perbedaan antara problim sehari hari dan problim masa depan. Problim sehari hari sebagian besar merupakan masalah harkat manusia (person). Problim masa depan, sebaliknya, harus diatur secara institusional. Masalah ini dapat kita sederhanakan menjadi sebuah pertanyaan; Siapa sebaiknya yang memerintah?


teori demokrasi identitas teori demokrasi konkuren
landasan: identitas pemerintah dan yang diperintah kekuasaan melalui wakil

plebisit (pemungutan suara) parlamentarisme

mandat imperatif (terikat wakil/utusan) mandat bebas

meniadakan interes sepihak pluralisme legitim

aspirasi rakyat homogen konkurensi bermacam-macam interes

kemakmuran bersama yang obyektif (sama rasa sama rata) kemakmuran bersama sebagai hasil dari keseimbangan interes

tujuan/orientasi (finalis) orientasi pada aturan main (formalis)
Penerapan: ketatanegaran otoriter (ekstrim:diktatur fasis) teori pluralisme, demokrasi liberal

demokrasi radikal (ekstrim: diktatur komunis) sistim parlemen representatif; sosialisme-demokratis

demokrasi "totaliter" status quo
kritik: pengambilalihan kekuasaan melalui oligarkhi partai pluralismus eliter

diktatur pendidikan (pemaksaan nilai-nilai) pragmatisme murni (tak ada nilai-nilai)

orientasi kemakmuran yang dipaksakan dominasi interes pribadi

Indonesia Sudah Sejak Awal Menjadi Bagian Dari Gerakan Global Moderat

Sebuah kehormatan bagi kami dapat berpartisipasi dalam konferensi internasional Global Movement of Moderates ini untuk berbagi pandangan yang menggambarkan tentang pengalaman Indonesia dalam merangkul keragaman dan memanfaatkan seluruh potensi yang ada untuk keuntungan bersama.
Di dunia yang tengah terbebani oleh segala jenis ekstrimisme, hal ini akan memberikan dorongan segar bagi terjadinya moderasi.

Sebagai penganjur perdamaian antara bangsa-bangsa dan internal suatu bangsa, Indonesia menyambut baik inisiatif ini. Ini akan memperkuat dan memperjelas upaya kita untuk memberikan suara bagi kelompok moderat di masyarakat kita-dan seluruh kelompok masyarakat.

Upaya-upaya tersebut mencakup  International Conferences of Islamic Scholars (ICIS) dan Forum Perdamaian Dunia yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk kemitraan dengan organisasi-organisasi Muslim terbesar kami, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Termasuk juga Global InterMedia Dialogue yang kami luncurkan bersama-sama dengan Norwegia guna mendapatkan kekuatan media massa untuk mempromosikan moderasi dan toleransi antara agama-agama dan budaya.

Karenanya, Indonesia sudah sejak awal menjadi bagian dari Gerakan Global Moderat. Dengan demikian kami akan memberikan kontribusi apa yang kami bisa untuk membantu agar gerakan ini berkembang. Sebagai kontribusi pribadi saya pada hari ini, saya diminta untuk berbicara mengenai topik, “Managing Differences and Competing Interests: the Indonesian Experience.” Saya mengerti mengapa pengalaman Indonesia dipilih untuk dipaparkan dalam topik ini.

Sebagai salah satu negara dengan tingkat keragaman terbesar di dunia, Indonesia merupakan rumah bagi lebih dari 300 kelompok etnis. Rumah bagi populasi Muslim terbesar di dunia. Dan rumah bagi semua agama-agama besar umat manusia lainnya, diantaranya Hindu, Buddha, Konghucu dan berbagai denominasi Kristen.

Indonesia dengan bangga menunjang pengaruh peradaban Timur Tengah, sub-kontinen, Asia Timur serta dunia Barat. Sebuah spektrum yang luas dari persuasi politik yang juga bekerja di masyarakat kami. Memang, Indonesia sangat beragam dalam semua aspek. Namun demikian, kami berhasil dalam memelihara persatuan nasional kami dan berhasil melakukan transisi dari otoritarianisme ke sistem yang sangat demokratis.

Sepanjang transisi tersebut, kami tidak menganggap keragaman itu sebagai sebuah masalah yang harus ditangani. Sebaliknya, kami menghargai keragaman tersebut. Ini adalah aset kami, karakter nasional kami, dan dengan demikian kami merayakannya. Kami membangun dengan keragaman tersebut.

Yang pasti, perjalanan kami tidak selalu berupa sebuah pelayaran yang tenang. Suatu waktu, rasanya seperti naik roller coaster. Kami harus menghadapi ancaman separatis, ketegangan etnis, dan konflik agama. Bahkan, di masa pergolakan setelah krisis 1998, beberapa pengamat secara lebih jauh memprediksi kegagalan Indonesia sebagai sebuah negara. Mereka memprediksi terjadinya Balkanisasi Indonesia.

Namun mayoritas rakyat kami tetap berkomitmen untuk persatuan Indonesia. Dan bukannya bercerai-berai, kami mengadopsi pendekatan baru. Kami mereformasi pemerintahan dan mengatasi tantangan yang ada. Dengan begitu kami memperoleh aset utama kedua: pengalaman kami dalam transisi demokrasi dan reformasi sosial - pelajaran- yang mungkin dapat menjadi pelajaran yang relevan bagi negara lainnya.

Transisi itu pun bukan merupakan proses yang mudah. Ini menuntut daya tahan, ketekunan dan komitmen dari seluruh rakyat Indonesia. Dari pengalaman transisi politik di tengah-tengah keanekaragaman tersebut, beberapa orang mungkin memperoleh wawasan yang berguna bagi upaya pengembangan politik mereka. Dan mengembangkan ide-ide praktis tentang bagaimana mengelola serta merangkul keragaman untuk kepentingan mereka sendiri.

Itu sebabnya kami mendirikan Bali Democracy Forum (BDF), sebuah forum antar pemerintah di Asia untuk bertukar pengalaman dan praktek terbaik dalam pembangunan politik. Kami yakin bahwa melalui forum ini, kita bisa belajar dari pengalaman satu sama lain mengenai tantangan dan peluang kita masing-masing dalam menangani keragaman sebagai bagian dari pembangunan politik.

Saya akan mengambil kesempatan ini untuk berbagi dengan Anda dua kesimpulan dasar yang dapat ditarik dari pengalaman Indonesia. Pertama, demokrasi merupakan respon yang efektif untuk persaingan kepentingan dan agenda di dalam masyarakat. Ini merupakan kasus yang terbesar, apakah itu di masyarakat yang relatif homogen atau sangat beragam seperti Indonesia.

Ada dua cara untuk merespon berbagai aspirasi dan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Negara dapat menggunakan kekuasaan untuk memaksa pada berbagai kepentingan yang berbeda-beda, atau bisa menampung mereka secara adil dan demokratis. Dalam kasus kami di Indonesia, kami melakukan kedua-duanya.

Era Orde Baru, berlangsung sekitar tiga dekade, dan menawarkan satu pendekatan. Dan tampaknya ini berjalan hingga Krisis Asia tahun 1998 dan mengarah kepada kelemahan mendasar dari sebuah sistem yang tidak bertanggung jawab. Indonesia kemudian mengambil pendekatan yang sama sekali berbeda. Kami merangkul demokrasi, meluncurkan transisi ke sistem demokrasi dan melakukan reformasi lebih jauh. Semua suara sekarang diperoleh melalui sidang dengar pendapat. Dan semua kepentingan kini dipertimbangkan untuk mencari kepentingan dasar bersama.

Kami telah mengembangkan sebuah sistem dimana semua stakeholder bisa berpartisipasi - tidak hanya melalui pemilihan umum yang bebas dan adil - tidak hanya melalui dialog antara para pejabat yang akuntabel dengan konstituen mereka. Sebaliknya, juga melalui berbagai upaya umpan balik yang terbuka lebar - termasuk kebebasan pers dan berbagai forum dimana berbagai petisi dan keluhan dapat diungkapkan dan didengar. Dengan begitu rakyat merasa diberdayakan. Mereka memiliki rasa kepemilikan terhadap apa yang dilakukan oleh negara, dan merasa berkontribusi terhadap pelaksanaan pemerintahan sehari-hari.
Jadi kami menjadi lebih yakin bahwa kami setia dengan moto nasional, Bhinneka Tunggal Ika, “Berbeda-beda tapi satu.” Dan kami menerapkan secara ketat tradisi ‘Musyawarah untuk mufakat’, atau konsultasi untuk mencapai konsensus.

Kami juga lebih tegas berkomitmen untuk Pancasila, lima prinsip falsafah nasional kami, yang menetapkan untuk saling menghormati dan saling pengertian di antara sesama atas dasar keyakinan kami pada Tuhan dan nilai-nilai kemanusiaan, persatuan nasional, demokrasi, dan keadilan sosial. Itulah mengapa demokrasi begitu mengakar di negara kami: itu didukung dan dipelihara oleh nilai-nilai inti dari Islam dan agama lainnya di Indonesia. Oleh budaya dan tradisi kami, serta standar sosial kami sendiri.

Itulah cara kami mengirim pesan kepada dunia, bahwa Islam, demokrasi dan modernisasi dapat berkembang bersama-sama. Demokrasilah yang membayar dividen politik, sosial dan ekonomi. Dalam waktu 13 tahun, kami muncul sebagai kekuatan ekonomi yang dinamis dengan jangkauan regional dan global. Kami lebih stabil secara politik dan sosial, dibandingkan masa-masa sebelum ini.

Saya tegaskan bahwa keragaman di Indonesia bukanlah masalah yang harus diatasi, tetapi merupakan aset yang kami rayakan dan kami membangun dengan itu. Dunia bahkan lebih beragam, dan saya percaya kita dapat merayakan, membangun dan memanfaatkan seluruh potensi keragaman global untuk kepentingan seluruh umat manusia.

Hal ini membawa saya pada kesimpulan dasar yang kedua, dan saya ingin berbagi dengan Anda: dengan cara yang sama bahwa demokrasi adalah respon terbaik untuk persaingan kepentingan di tingkat nasional, respon yang paling efektif untuk persaingan kepentingan nasional di tingkat global adalah demokratisasi pemerintahan global. Ini berarti bahwa dalam menghadapi banyak kepentingan nasional yang berbeda sebagaimana ditegaskan dalam forum-forum global, kita sekarang harus dengan sungguh-sungguh mencari titik temu.

Dalam hal ini, saya sampaikan kembali apa yang dikatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika membahas tentang UNESCO di Paris tahun lalu pada ulang tahun ke-10 Deklarasi Universal Keberagaman Budaya, beliau menyebutkan perubahan yang menentukan yang memiliki dampak besar pada tatanan global.

Salah satu yang paling penting dari perubahan ini adalah meningkatnya peran negara berkembang dalam ekonomi global. Munculnya negara-negara berkembang yang menyuarakan reformasi arsitektur keuangan internasional, dan kesediaan mereka untuk bekerja dengan negara-negara maju untuk memecahkan masalah-masalah global, merepresentasikan kesempatan yang unik bagi demokratisasi pemerintahan internasional.

Saya sungguh percaya bahwa demokratisasi yang terjadi di tingkat nasional di Indonesia - dan di negara-negara lain yang melakukan transisi yang mirip dengan kami - dapat direplikasikan di tingkat global untuk mengatasi persaingan kepentingan-kepentingan nasional. Jika kita semua bekerja sama untuk melaksanakan ini, maka manfaatnya bagi semua umat manusia sungguh akan sangat luar biasa.

Saya ingin berbagi satu pemikiran akhir dengan Anda. Kaum moderat dunia seharusnya tidak merasa terisolasi antara satu dengan lainnya. Untuk itu kita tidak kekurangan forum dan proses untuk dialog antar agama, budaya dan peradaban. Namun demikian masih ada wabah kekerasan di banyak bagian dunia yang disebabkan oleh prasangka dan intoleransi.

Ini bukan berarti bahwa dialog tidak bekerja. Tapi mungkin itu berarti bahwa dialog yang dilakukan belum menyebar cukup luas, bahwa masih ada ruang untuk dimasuki lebih lanjut. Sebagaimana dikatakan oleh Perdana Menteri Dato ‘Sri Najib Razak di dalam pidatonya, bahwa kita harus menyuarakan alasan yang lebih keras dari pada menyuarakan kebencian. Kita harus mengambil risiko, mengumpulkan sedikit demi sedikit keberanian dalam diri kita dan melatihnya.
Itulah sebabnya saya optimis terhadap Gerakan Global Moderat ini yang merupakan kapasitas luar biasa untuk mempromosikan dialog. Moderat sejati memiliki keberanian moral. Dan itulah yang diperlukan untuk mengubah dunia menjadi lebih baik.