Sabtu, 10 November 2012

Indonesia Sudah Sejak Awal Menjadi Bagian Dari Gerakan Global Moderat

Sebuah kehormatan bagi kami dapat berpartisipasi dalam konferensi internasional Global Movement of Moderates ini untuk berbagi pandangan yang menggambarkan tentang pengalaman Indonesia dalam merangkul keragaman dan memanfaatkan seluruh potensi yang ada untuk keuntungan bersama.
Di dunia yang tengah terbebani oleh segala jenis ekstrimisme, hal ini akan memberikan dorongan segar bagi terjadinya moderasi.

Sebagai penganjur perdamaian antara bangsa-bangsa dan internal suatu bangsa, Indonesia menyambut baik inisiatif ini. Ini akan memperkuat dan memperjelas upaya kita untuk memberikan suara bagi kelompok moderat di masyarakat kita-dan seluruh kelompok masyarakat.

Upaya-upaya tersebut mencakup  International Conferences of Islamic Scholars (ICIS) dan Forum Perdamaian Dunia yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk kemitraan dengan organisasi-organisasi Muslim terbesar kami, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Termasuk juga Global InterMedia Dialogue yang kami luncurkan bersama-sama dengan Norwegia guna mendapatkan kekuatan media massa untuk mempromosikan moderasi dan toleransi antara agama-agama dan budaya.

Karenanya, Indonesia sudah sejak awal menjadi bagian dari Gerakan Global Moderat. Dengan demikian kami akan memberikan kontribusi apa yang kami bisa untuk membantu agar gerakan ini berkembang. Sebagai kontribusi pribadi saya pada hari ini, saya diminta untuk berbicara mengenai topik, “Managing Differences and Competing Interests: the Indonesian Experience.” Saya mengerti mengapa pengalaman Indonesia dipilih untuk dipaparkan dalam topik ini.

Sebagai salah satu negara dengan tingkat keragaman terbesar di dunia, Indonesia merupakan rumah bagi lebih dari 300 kelompok etnis. Rumah bagi populasi Muslim terbesar di dunia. Dan rumah bagi semua agama-agama besar umat manusia lainnya, diantaranya Hindu, Buddha, Konghucu dan berbagai denominasi Kristen.

Indonesia dengan bangga menunjang pengaruh peradaban Timur Tengah, sub-kontinen, Asia Timur serta dunia Barat. Sebuah spektrum yang luas dari persuasi politik yang juga bekerja di masyarakat kami. Memang, Indonesia sangat beragam dalam semua aspek. Namun demikian, kami berhasil dalam memelihara persatuan nasional kami dan berhasil melakukan transisi dari otoritarianisme ke sistem yang sangat demokratis.

Sepanjang transisi tersebut, kami tidak menganggap keragaman itu sebagai sebuah masalah yang harus ditangani. Sebaliknya, kami menghargai keragaman tersebut. Ini adalah aset kami, karakter nasional kami, dan dengan demikian kami merayakannya. Kami membangun dengan keragaman tersebut.

Yang pasti, perjalanan kami tidak selalu berupa sebuah pelayaran yang tenang. Suatu waktu, rasanya seperti naik roller coaster. Kami harus menghadapi ancaman separatis, ketegangan etnis, dan konflik agama. Bahkan, di masa pergolakan setelah krisis 1998, beberapa pengamat secara lebih jauh memprediksi kegagalan Indonesia sebagai sebuah negara. Mereka memprediksi terjadinya Balkanisasi Indonesia.

Namun mayoritas rakyat kami tetap berkomitmen untuk persatuan Indonesia. Dan bukannya bercerai-berai, kami mengadopsi pendekatan baru. Kami mereformasi pemerintahan dan mengatasi tantangan yang ada. Dengan begitu kami memperoleh aset utama kedua: pengalaman kami dalam transisi demokrasi dan reformasi sosial - pelajaran- yang mungkin dapat menjadi pelajaran yang relevan bagi negara lainnya.

Transisi itu pun bukan merupakan proses yang mudah. Ini menuntut daya tahan, ketekunan dan komitmen dari seluruh rakyat Indonesia. Dari pengalaman transisi politik di tengah-tengah keanekaragaman tersebut, beberapa orang mungkin memperoleh wawasan yang berguna bagi upaya pengembangan politik mereka. Dan mengembangkan ide-ide praktis tentang bagaimana mengelola serta merangkul keragaman untuk kepentingan mereka sendiri.

Itu sebabnya kami mendirikan Bali Democracy Forum (BDF), sebuah forum antar pemerintah di Asia untuk bertukar pengalaman dan praktek terbaik dalam pembangunan politik. Kami yakin bahwa melalui forum ini, kita bisa belajar dari pengalaman satu sama lain mengenai tantangan dan peluang kita masing-masing dalam menangani keragaman sebagai bagian dari pembangunan politik.

Saya akan mengambil kesempatan ini untuk berbagi dengan Anda dua kesimpulan dasar yang dapat ditarik dari pengalaman Indonesia. Pertama, demokrasi merupakan respon yang efektif untuk persaingan kepentingan dan agenda di dalam masyarakat. Ini merupakan kasus yang terbesar, apakah itu di masyarakat yang relatif homogen atau sangat beragam seperti Indonesia.

Ada dua cara untuk merespon berbagai aspirasi dan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Negara dapat menggunakan kekuasaan untuk memaksa pada berbagai kepentingan yang berbeda-beda, atau bisa menampung mereka secara adil dan demokratis. Dalam kasus kami di Indonesia, kami melakukan kedua-duanya.

Era Orde Baru, berlangsung sekitar tiga dekade, dan menawarkan satu pendekatan. Dan tampaknya ini berjalan hingga Krisis Asia tahun 1998 dan mengarah kepada kelemahan mendasar dari sebuah sistem yang tidak bertanggung jawab. Indonesia kemudian mengambil pendekatan yang sama sekali berbeda. Kami merangkul demokrasi, meluncurkan transisi ke sistem demokrasi dan melakukan reformasi lebih jauh. Semua suara sekarang diperoleh melalui sidang dengar pendapat. Dan semua kepentingan kini dipertimbangkan untuk mencari kepentingan dasar bersama.

Kami telah mengembangkan sebuah sistem dimana semua stakeholder bisa berpartisipasi - tidak hanya melalui pemilihan umum yang bebas dan adil - tidak hanya melalui dialog antara para pejabat yang akuntabel dengan konstituen mereka. Sebaliknya, juga melalui berbagai upaya umpan balik yang terbuka lebar - termasuk kebebasan pers dan berbagai forum dimana berbagai petisi dan keluhan dapat diungkapkan dan didengar. Dengan begitu rakyat merasa diberdayakan. Mereka memiliki rasa kepemilikan terhadap apa yang dilakukan oleh negara, dan merasa berkontribusi terhadap pelaksanaan pemerintahan sehari-hari.
Jadi kami menjadi lebih yakin bahwa kami setia dengan moto nasional, Bhinneka Tunggal Ika, “Berbeda-beda tapi satu.” Dan kami menerapkan secara ketat tradisi ‘Musyawarah untuk mufakat’, atau konsultasi untuk mencapai konsensus.

Kami juga lebih tegas berkomitmen untuk Pancasila, lima prinsip falsafah nasional kami, yang menetapkan untuk saling menghormati dan saling pengertian di antara sesama atas dasar keyakinan kami pada Tuhan dan nilai-nilai kemanusiaan, persatuan nasional, demokrasi, dan keadilan sosial. Itulah mengapa demokrasi begitu mengakar di negara kami: itu didukung dan dipelihara oleh nilai-nilai inti dari Islam dan agama lainnya di Indonesia. Oleh budaya dan tradisi kami, serta standar sosial kami sendiri.

Itulah cara kami mengirim pesan kepada dunia, bahwa Islam, demokrasi dan modernisasi dapat berkembang bersama-sama. Demokrasilah yang membayar dividen politik, sosial dan ekonomi. Dalam waktu 13 tahun, kami muncul sebagai kekuatan ekonomi yang dinamis dengan jangkauan regional dan global. Kami lebih stabil secara politik dan sosial, dibandingkan masa-masa sebelum ini.

Saya tegaskan bahwa keragaman di Indonesia bukanlah masalah yang harus diatasi, tetapi merupakan aset yang kami rayakan dan kami membangun dengan itu. Dunia bahkan lebih beragam, dan saya percaya kita dapat merayakan, membangun dan memanfaatkan seluruh potensi keragaman global untuk kepentingan seluruh umat manusia.

Hal ini membawa saya pada kesimpulan dasar yang kedua, dan saya ingin berbagi dengan Anda: dengan cara yang sama bahwa demokrasi adalah respon terbaik untuk persaingan kepentingan di tingkat nasional, respon yang paling efektif untuk persaingan kepentingan nasional di tingkat global adalah demokratisasi pemerintahan global. Ini berarti bahwa dalam menghadapi banyak kepentingan nasional yang berbeda sebagaimana ditegaskan dalam forum-forum global, kita sekarang harus dengan sungguh-sungguh mencari titik temu.

Dalam hal ini, saya sampaikan kembali apa yang dikatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika membahas tentang UNESCO di Paris tahun lalu pada ulang tahun ke-10 Deklarasi Universal Keberagaman Budaya, beliau menyebutkan perubahan yang menentukan yang memiliki dampak besar pada tatanan global.

Salah satu yang paling penting dari perubahan ini adalah meningkatnya peran negara berkembang dalam ekonomi global. Munculnya negara-negara berkembang yang menyuarakan reformasi arsitektur keuangan internasional, dan kesediaan mereka untuk bekerja dengan negara-negara maju untuk memecahkan masalah-masalah global, merepresentasikan kesempatan yang unik bagi demokratisasi pemerintahan internasional.

Saya sungguh percaya bahwa demokratisasi yang terjadi di tingkat nasional di Indonesia - dan di negara-negara lain yang melakukan transisi yang mirip dengan kami - dapat direplikasikan di tingkat global untuk mengatasi persaingan kepentingan-kepentingan nasional. Jika kita semua bekerja sama untuk melaksanakan ini, maka manfaatnya bagi semua umat manusia sungguh akan sangat luar biasa.

Saya ingin berbagi satu pemikiran akhir dengan Anda. Kaum moderat dunia seharusnya tidak merasa terisolasi antara satu dengan lainnya. Untuk itu kita tidak kekurangan forum dan proses untuk dialog antar agama, budaya dan peradaban. Namun demikian masih ada wabah kekerasan di banyak bagian dunia yang disebabkan oleh prasangka dan intoleransi.

Ini bukan berarti bahwa dialog tidak bekerja. Tapi mungkin itu berarti bahwa dialog yang dilakukan belum menyebar cukup luas, bahwa masih ada ruang untuk dimasuki lebih lanjut. Sebagaimana dikatakan oleh Perdana Menteri Dato ‘Sri Najib Razak di dalam pidatonya, bahwa kita harus menyuarakan alasan yang lebih keras dari pada menyuarakan kebencian. Kita harus mengambil risiko, mengumpulkan sedikit demi sedikit keberanian dalam diri kita dan melatihnya.
Itulah sebabnya saya optimis terhadap Gerakan Global Moderat ini yang merupakan kapasitas luar biasa untuk mempromosikan dialog. Moderat sejati memiliki keberanian moral. Dan itulah yang diperlukan untuk mengubah dunia menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar